NASAB DAN KELAHIRAN IMAM AT-THABARI
Nama lengkap
Imam at-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amuly. Dia
lahir di kota Amuli, yaitu bagian dari daerah Thabristan pada tahun (menurut pendapat yang lebih rojih) 224 H atau
sekitar 839-840 M. Dia memperoleh gelar Abu Ja’far sebagai tanda penghormatan
terhadap. Ja’far sendiri merupakan sebutan bagi sungai yang besar dan luas.
Jika kita
menengok pada masa at-Thabari kecil tumbuh, maka kita akan mendapati bahwasanya
dia tumbuh ditengah keluarga yang sederhana
dan memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan terutama dalam bidang
agama. Serta masa tumbuh
at-Thabari adalah masa dimana tradisi
keilmuan islam berada pada puncak kemajuan dan kesuksesan dalam bidang
pemikiran. Hal ini terbukti dengan munculnya para ulama pada masa itu dari daerah tersebut, seperti Ahmad bin Harun al-Amuli, Abu Ishaq bin
Basyar al-Amuli, Abdullah bin Hammad al-Amuli dan ulama besar lainnya. Hal itu pula yang mendorong at-Thabari tumbuh mencintai ilmu.
Mengkaji dan
menghafal al-Qur’an merupakan tradisi yang selalu ditanamkan dengan subur pada
anak keturunan keluarga at-Thabari termasuk at-Thabari sendiri. Berkat motivasi dan pengarahan (terutama) dari ayahnya serta perbekalan kecerdasan tinggi, pada
saat usia tujuh tahun at-Thabari sudah hafal al-Qur’an, lalu
menjadi imam shalat dan menulis hadits saat umurnya belum genap sembilan tahun.
Isyarat akan kebesaran at-Thabari telah dirasakan oleh ayahnya. Suatu ketika ayah beliau pernah bermimpi bahwa Rasulullah
menghampiri at-Thabari seraya memegang tangannya dan memberikan segenggam
batu-batuan kepadanya. Lalu mimpi tersebut dita’wilkan oleh ahli tafsir mimpi sebagai pertanda bahwa at-Thabari dimasa
yang akan datang akan berperan sebagai pemelihara syri’atnya. Dari mimpi itulah
ayahnya
semakin semangat dalam memotivasi anaknya untuk mencari ilmu, meski saat itu
umur at-Thabari masih terbilang sangat belia.
At-Thabari memulai perjalanan menuntut ilmu pasca tahun 240 H,
yaitu ketika ia berumur 16 tahun. Ia banyak menjelajahi bumi, bertemu dengan
para tokoh mulia, menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada al-‘Abbas bin Walid,
kemudian pindah darinya menuju Madinah, kemudian Mesir, Ray dan Khurasan. Lalu
akhirnya menetap di Baghdad.
Banyak kota yang ia singgahi sampai tidak puas dengan hanya
memasukinya sekali, ia memasuki kota tersebut beberapa kali untuk memuaskan
hasrat keilmuannya. Diantara kota-kota tersebut adalah Baghdad. Di kota inilah ia
mengambil madzhab Syafi’iyah dari Hasan Za’farani. Kemudian Bashrah, di kota
ini ia
belajar hadits kepada Abu Abdullah as-Shan’ani. Lalu Kufah. Di sana ia belajar
ilmu puisi kepada Tsa’lab dan masih banyak lagi kota lainnya seperti Mesir,
Beirut, dan Damaskus. Pada akhirnya Imam at-Thabari sempat pulang ke tanah
kelahirannya pada tahun 290 H, yaitu ketika ia berumur 66 tahun. Namun tak lama
kemudian ia kembali ke Baghdad dan menjadikannya sebagai tempat persinggahan
terakhir untuk mencurahkan seluruh aktifitas ilmiyahnya hingga ia wafat.
GURU-GURU DAN MURID-MURID AT-THABARI
Guru at-Thabari lebih dari 40 orang, diantaranya; Muhammad bin Abdul
Malik bin Abi asy-Syawarib, Ismail bin Musa as-Suddi, Ishaq bin Abu Isroil,
Muhammad bin Abi Mas’ar dan yang lainnya. Bahkan didalam tafsirnya didapatkan
bahwa ia memiliki 62 guru.
Karena kedalaman ilmu Imam at-Thabari, maka wajar saja bila
orang-orang berlomba untuk menampung samudra ilmu yang terpancar darinya. Berikut
adalah nama ulama yang mengambil ilmu dari beliau: Ahmad bin Ali bin Muhammad
bin Nashr, Ahmad bin Qasim bin Ubaidillah bin Mahdi. Teman
at-Thabari, Ahmad bin Abdullah bin Farhan al-Farghani meriwayatkan karangan
dari Ibnu Jarir. Di antara kitab karangan Imam al-Farghani adalah Sirah al-Aziz
Sulthan al-Mishr dan kitab Sirah Kafur al-Ihsyidi.
Diceritakan, pernah al-Mukafi (khalifah) ingin mewakafkan yang
sudah disepakati oleh para ulama, lalu ia menghadirkan Ibnu Jarir untuk itu,
kemudian ia mendiktekan sebuah kitab mengenai hal itu. Setelah itu ia
diberi hadiah namun ia menolaknya. Lantas, ada yang mengatakan kepadanya, “Harus
diambil untuk memenuhi kebutuhanmu”. Lalu ia berkata, “Mintalah
kepada Amiirul Mu’minin agar malarang pengemis meminta-minta pada hari Jum’at”.
Lalu Amirul Mu’minin pun melakukannya. Demikian pula, pernah seorang menteri
memintanya agar mengarang sebuah buku tentang fikih, lalu ia mengarang untuk
sebuah buku ringan, lalu ia diberi uang sejumlah 1000 dinar namu lagi-lagi ia
menolaknya.
Imam Ibnu Jarir at-Thabari telah membuat
nasyid untuk mengungkapkan dirinya sendiri. Nasyid itu berbunyi sebagai
berikut,
Temanku tidak tau biar kondisiku terjepit
Tahunya aku bahagia karena aku tidak pernah
menjerit
Perasaan maluku memenuhi muka
Dengan lembut semua aku adukan kepada-Nya
Kalau rela mengemis dan meminta
Bagiku kemuliaan dunia jalan terbuka
Ia juga mempunyai syair lain,
Dua
akhlaq yang tidak aku suka
Kaya sombong dan miskin mengiba
Jika Anda kaya sombong janganlah ada
Jika miskin tunggulah masa
PERKATAAN SEJUMLAH ULAMA MENGENAI BELIAU
Al-Farghani berkata,”Muhammad bin Jarir
at-Thabari tidak takut celaan dan cercaan manusia, biarpun itu terasa
menyakitkan. Cercaan itu muncul dari orang-orang bodoh, hasud dan
mengingkarinya. Adapun manusia yang berilmu dan ahli dalam menjalankan agama,
maka mereka tidak akan mengingkari kapasitas dan kredibilitas Muhammad bin
Jarir.”
Mereka juga mengakui kezuhudannya dari
dunia dan qana’ahnya dengan merasa cukup menerima sepetak tanah kecil
peninggalan ayahnya di Thabaristan. Perdana mentri al-Khaqani telah bertaqlid
kepadanya, lalu ia mengirim uang dalam jumlah yang besar kepadanya, aka tetapi
ia menolak pemberian tersebut. Ketika Ibnu Jarir at-Thabari ditawari kedudukan
qadhi (hakim) dengan jabatan Wilayah al-Madzalim, ia pun menolaknya.
Akibat penolakan ini, teman-teman Ibnu Jarir
mencelanya. Mereka berkata, “Ketika kamu menerima jabatan ini, maka kamu akan
mendapatkan gaji tinggi dan akan dapat menghidupkan pengajian Sunnah yang kamu
laksanakan,”
Pada dasarnya, mereka ingin sekali
memperoleh jabatan tersebut. Namun dengan perkataan itu, akhirnya Ibnu Jarir membentak
mereka seraya berkata, “sungguh, aku mengira kalian akan mencegahku ketika aku
senang terhadap jabat tersebut!.”
Dia menjalani kehidupannya dengan zuhud dalam urusan harta,
sehingga ia tidak pernah memikirkan untuk mengumpulkannya. Tatkala hidupnya terputus
dari kegiatan safar untuk menimba ilmu, maka sisa usianya difokuskan untuk menulis,
berkarya dan mengajarkan ilmu yang ia miliki kepada orang lain.
Berdasarkan perkiraan, besar kemungkinan karena kehausan at-Thabari
terhadap ilmu dan perhatiannya hanya untuk ilmu, hal itu adalah sebab utama
untuk membujang sampai ia meninggal, tanpa menikah dengan siapa pun. Berangkat
dari sinilah, Imam at-Thabari banyak menelurkan karya, ilmunya dalam, lebih
banyak waktu mengajar sehingga manusia memperoleh manfaat darinya secara umum.
Bahkan ia memiliki karya yang tidak ada satu orang pun yang bisa menandingi
kehebatan karyanya ini, yaitu Jami’ul Bayan fi Tafsiir al-Qur’an dalam
bidang tafsir, lebih dikenal dengan Tafsir at-Thabari dan Tarikh
al-Imam wa al-Muluk dalam bidang sejarah, lebih dikenal dengan Tarikh
at-Thabari.
Al-Khatib pernah berkata bahwasanya Imam Ibnu Jarir adalah salah
satu sesepuh dari para ulama. Perkataannya bijaksana dan pendapatnya selalu dibutuhkan karena luasnya
pengetahuan dan tingginya tingkat kemulian. Beliau juga telah mengumpulkan ilmu
yang tidak pernah ada seorang pun melaksanakannya semasa hidupnya. Beliau
adalah seorang Hafidz, pandai dalam Ilmu Qira’at, Ilmu Ma’ani, Faqih tehadap
hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an, memahami sunnah dan ilmu cabangnya,
serta dapat membedakan yang shahih dan yang cacat, nasikh dan mansukhnya.
Juga mengetahui atsar shahabat dan tabi’in, bahkan beliau mengetahui
sejarah hidup manusia dan keadaan mereka. Beliau juga memiliki kitab-kitab yang
membahas “Ilmu Ushul Fiqih” dan pilihan dari perkataan-perkataan para fuqahaa’.
PENGARUH IMAM AT-THABARI TERHADAP FIKIH
Ia
memiliki pengaruh yang besar terhadap fikih. Bahkan pada abad ke-9 hingga 10 M
terdapat madzhab fiqhy ahlussunnah yang disebut dengan madzhab Jariri.
Ya, madzhab ini dinisbatkan kepadanya, Muhammad bin Jarir at-Thabari.
Pengikut murni madzhab ini terus menyusut hingga akhirnya madzhab ini bisa
dikatakan punah, namun sejatinya sebagian besar ajarannya sudah terwakili,
berpengaruh, dan tersebar pada madzhab-madzhab fikih yang masih bertahan hingga
sekarang. Dibuktikan dengan masih digunakannya karya-karya Imam at-Thabari pada
banyak madzhab sunni, terutama kitab tafsir beliau, Tafsir at-Thabari.
HARI WAFAT IMAM AT-THABARI
Tatkala tiba waktu shalat dzuhur pada hari senin, yaitu hari dimana
ia wafat, ia meminta air untuk memperbaharui wudhu beliau. Ketika dikatakan, “ akhirkanlah shalat
dzuhur dan gabungkanlah dengan shalat ashar.” Maka ia tidak mau dan akhirnya ia
menunaikan shalat dzuhur sendiri dan shalat ashar pada waktunya dengan
menyempurnakan bilangan rakaatnya.
Pada waktu itu, hadir para ulama,
diantaranya Abu Bakar Kamil. Ibnu Kamil berkata menjelang hembusan nafas
terakhir Imam at-Thabari, “Wahai Abu Ja’far, kamu adalah hujjah antara kami
dengan Allah atas agama kami. Mungkinkah kamu berwasiat sesuatu kepada kami
untuk urusan agama kami? Tolong jelaskan wasiat itu. Kami sangat berharap,
dengan melaksanakan wasiatmu itu, kami selamat ketika kembali menghadap-Nya.”
Maka Ibnu Jarir menjawab, “Wasiatku kepada
kalian adalah kerjakan apa-apa yang telah aku tulis dalam kitab-kitab karyaku
dan jangan menyalahinya. Perbanyaklah mengerjakan shalat dan berdzikir.” Setelah itu, Ibnu Jarir
mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya untuk memejamkan kedua matanya dengan
membenangkan jari-jari tangannya. Pada saat demikianlah, ruhnya meninggalkan
jasadnya.
Ahmad bin Kamil berkata, “ Ibnu Jarir
meninggal pada sore hari ahad, dua hari sisa bulan Syawal tahun 310 H. Dia
dimakamkan di rumahnya, di mihrab Ya’qub, Baghdad. Pada saat ia meninggal
ubannya tidak berubah dan rambutnya masih banyak yang berwarna hitam. Dia
berkulit sawo matang, bermata lebar, berbadan kurus dan tinggi serta bicaranya
fashih. Banyak sekali manusia yang mengiringi jenazahnya, hanya Allah yang
mengetahui jumlah mereka.
Shalat jenazah terjadi sampai
berbulan-bulan. Baik di waktu siang maupun malam. Para pujangga dan ahli agama
banyak yang menangisi kepergiannya. Lukisan kesedihan manusia dituliskan oleh
Abu Said Ibnul Arabi dengan berkata,
Ini petuah yang agung dan peristiwa
menggemparkan
Kepergiannya seperti dirinya dibutuhkan
banyak kesabaran
Banyak bermunculan orang berilmu tinggi
Tetapi tidak sebanyak yang dikuasai Ibnu
Jarir at-Thabari
DAFTAR PUSTAKA
adz-Dzahabi.2010.Siyar A’lamin
Nubalaa’.Beirut: Daarul Kutub al-Ilmiyah
al-Hamawi, Abu Abdillah Yaqut al-Rumi.1991.Mu’jam
al-Udabaa’.Beirut:Daarul Kutub al-Ilmiyah
at-Thabari, Muhammad
Ibnu Jarir.1992.Tarikhul
Umam wal Mulk.Beirut:Daarul
Kutub al-Ilmiyah
Faris, Ahmad.2008.60 Biografi
Ulama Salaf.Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,
https://id.wikipedia.org/wiki/Madzhab_Jariri,
pada tanggal 2 mei 2018 pukul 14.00.
oleh ; Andini Prisma Roswati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar