Oleh
: Aleezha*
Berbicara mengenai toleransi
akhir-akhir ini memang sangatlah menarik. Terlebih banyak dari kita yang mudah
tersulut oleh sedikit konflik berbau toleransi, saat manusia lain berbeda
dengan kita –apapun itu perbedaannya- maka ia tidak termasuk dari golongan
kita. Padahal jelas, perbedaan merupakan fitrah dan sunnatullah yang
sudah menjadi ketetapan Allah, bahkan dengan adanya perbedaan itulah Allah
memerintahkan hamba-Nya untuk saling toleransi juga memahami sebagaimana
termaktub dalam firman-Nya Qs. Al-Hujurat: 13.
Islam sendiri memiliki konsep toleransi yang begitu
sempurna, hanya saja ia memiliki batasan-batasan yang berbeda dengan toleransi
yang biasa didengungkan kaum Sekuleris juga Liberalis. Batasan toleransi dalam Islam adalah
tidak memasuki urusan wilayah keagamaan dari masing-masing pemeluk agama atau
tidak mencampur adukkan ibadah. Umat Islam tidak boleh ikut berpartisipasi
dalam perayaan non muslim serta tidak boleh berpakaian dengan simbol khas
keagamaan mereka, menurut pandangan Islam mengucapkan ‘selamat natal’, ‘selamat tahun baru’ terhadap perayaan agama lain,
memperingati, menghadirinya sama halnya dengan ikut mensyiarkan agama non
muslim dan tolong menolong dalam perbuatan dosa.
Aplikasi sikap toleransi dalam Islam adalah memahami bukan
mengakui, membiarkan bukan membenarkan. Maka tidak perlu bagi
umat muslim menggunakan atribut natal saat perayaannya, cukup baginya
menghormati tanpa harus ikut meramaikan atau mengamalkan ajaran mereka. UUD 45 pasal 29 ayat 2 menjelaskan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya”. Namun, dewasa ini banyak orang salah mengartikan makna
toleransi dengan menyudutkan bahwa Islam adalah agama yg fanatik dan intoleran.
Bijak dalam Toleransi
Islam merupakan agama ‘rahmatan lil alamin’ yang
menghargai keyakinan antar agama, maka makna dari toleransi dalam kacamata
Islam bukan ikut dari segala aspek perayaan non muslim, namun Islam membiarkan
seseorang dengan keyakinan masing-masing. Hal ini sudah terangkum dengan sangat
indah dalam Q.S Al-Kafirun: 6 yang artinya ‘ Bagimu agamamu dan bagiku
agamaku’,maka disini sudah sangat jelas bahwa toleransi itu menghargai
bukan melarutkan diri. Toleransi
dalam masalah sosial sangat dianjurkan, namun tidak dalam masalah keyakinan.
Tidak ada tawar-menawar bagi umat muslim untuk urusan keyakinan.
Mengenai tudingan bahwa Islam adalah agama intoleran, mari
kita ingat kembali pada acara aksi 212 dua tahun silam, yang mana umat Islam
menuntut agar Gubernur Jakarta -yang notabenenya Kristen- untuk segera dipenjarakan lantaran kasus
penistaan agama, bersamaan dengan acara aksi tersebut sepasang pengantin Kristen akan menyelenggarakan
pernikahannya di gereja Katedral yang mana pada saat itu jalanan depan gereja
membludak lantaran banyaknya jama’ah aksi, lalu bagaimana umat Islam
menanggapinya? Padatnya peserta aksi mengharuskan pengantin juga tamu
undangannya berjalan kaki menuju gereja Katedral, tanpa mendapat komando umat
Islam memberi jalan dan mengawalnya hingga mereka dapat masuk gereja dengan
lancar. Mengapa umat Islam berbeda dalam menyikapi dua masalah di atas? Padahal Gubernur
dan sepasang pengantin
sama-sama beragama Kristen.
Disitulah letak toleransi dalam Islam yang menghargai masalah sosial
namun tidak dalam keyakinan ,
andaikan Islam intoleran bisa jadi pernikahan sepasang pengantin tersebut batal
lantaran tuntutan jama’ah aksi.
Maka dengan adanya contoh aplikasi di atas
sudah sangat jelas bahwa sikap saling bertoleransi tidak perlu diwujudkan
dengan semangat ikut dalam perayaaan keagamaan, namun cukup dengan memunculkan
sikap menghargai dan eksistensi terhadap agama lain, bukan berarti ketika
seorang muslim yang tidak ikut dalam acara tersebut dikatakan intoleran. Akan tetapi Islam mempunyai cara
tersendiri dalam memaknai kata toleransi. Tidak semua bisa
dikatakan toleransi ketika sudah memasuki ranah keyakinan. Oleh karenanya kita sebagai umat muslim tidak perlu
merasa ‘tidak enak’ ketika tidak memberi
ucapan kepada saudara non muslim, karena Al-Qur’an telah menegaskan bahwa
prinsip toleransi dalam Islam adalah ‘bagimu agamamu dan bagiku agamaku’.
*Mahasantri Hidayatturahman Program Fiqh dan Ushul
Fiqh Pilang Masaran Sragen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar